5 Dampak Riba yang Jarang Dibahas

Sore itu, Fulan duduk gelisah di kursi besi yang terasa keras. Dinginnya AC tidak membuatnya tenang. Di hadapannya, seorang petugas dari lembaga gadai sedang menimbang cincin emas yang ia bawa. 

“Pak Fulan!” Terdengar namanya dipanggil. Suaranya datar. Fulan beranjak mendekati bagian loket.

“Nilainya 3.500.000. Biaya admin 40ribu, biaya sewa 1.2% per 15 hari. Bagaimana?”

Fulan mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia tahu berapa yang harus dikembalikan nantinya. Namun, ia terpaksa mengambil pinjaman dengan menggadaikan mahar milik kerabatnya. Begitu banyak beban yang harus ia tanggung membuatnya tak mampu berbuat lebih. 

Cincin itu ia pinjam dari seorang kerabat. Ia mengira, hasilnya bisa menutup kebutuhan mendesak anaknya yang masuk sekolah. Namun, entah kenapa, estimasi biaya yang ada ternyata masih kurang menutup semua tanggungan. Tiba-tiba ada rasa perih yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia merasa langkah yang diambil justru menjeratnya, bukan menolongnya. 

Kisah Fulan bukanlah cerita langka. Banyak orang yang terpaksa menggadaikan barang, mengambil pinjaman berbunga, atau masuk dalam sistem riba karena kebutuhan yang  mendesak. Padahal, riba bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan juga masalah batin, sosial, bahkan keberkahan hidup.

Dalam Al-Qur’an, Allah dengan tegas melarang riba. Namun, sering kali yang kita dengar hanyalah ancaman besar riba secara umum, sedangkan dampak sehari-harinya jarang sekali dibahas. Padahal, kalau kita telisik lebih dalam, riba menggerogoti banyak sisi kehidupan kita tanpa disadari.

Berikut adalah lima dampak riba yang jarang dibicarakan, tetapi terasa nyata di kehidupan sehari-hari seperti yang dialami Fulan dan banyak orang lain.

  1. Hilangnya Keberkahan Harta

Fulan yang merasa, meskipun nominal uang yang ia dapat dari menggadaikan barang cukup besar, uang itu cepat sekali habis. Belum sebulan, sudah tak bersisa. Inilah salah satu tanda hilangnya keberkahan harta. Riba mungkin membuat saldo rekening bertambah, tetapi ketenangan dalam menjalani hidup justru berkurang. Ada saja hal tak terduga yang membuat uang itu “lari” entah ke mana.

Harta yang berkah bukan soal jumlahnya, melainkan manfaatnya. Uang hasil dari usaha halal, meski sedikit, sering kali lebih mencukupi dibanding harta yang diperoleh dari praktik riba.

  1. Kegelisahan Batin meski Harta Banyak

Banyak orang yang beranggapan dengan uang lebih banyak, otomatis hidup menjadi lebih tenang. Namun, kenyataannya, mereka yang bergelut dengan riba justru sering kali gelisah setiap harinya.

Contoh si Fulan misalnya, setelah menggadaikan cincinnya, bukan lega yang ia dapat, melainkan rasa waswas: “Bagaimana kalau setelah habis masa sewa, saya tidak bisa membayarnya? Bagaimana jika biaya sewanya semakin tinggi? Belum lagi biaya admin-nya. Apakah cincinnya bisa kembali?”

Riba merampas rasa aman dan menanamkan kegelisahan. Meskipun dompet terisi, hati kita akan terasa kosong.

  1. Rusaknya Keadilan Sosial

Praktik riba juga menimbulkan ketimpangan sosial. Lembaga pemberi pinjaman hampir selalu berada di posisi dominan, sedangkan si peminjam ada di posisi lemah.

Lembaga gadai, bank konvensional, atau bahkan rentenir bisa dengan mudah menentukan bunga, sedangkan orang seperti Fulan tak punya pilihan selain menyetujui. Akhirnya, sistem ini menciptakan sebuah lingkaran; yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terjepit.

Islam menolak sistem ini karena sejatinya harta bukan untuk menindas, melainkan untuk saling menolong.

  1. Mendorong Sikap Istibtha’ dan Ketergantungan pada Utang

Ketika sekali saja seseorang terbiasa mencapai keinginannya dengan cara instan, memanfaatkan pinjaman online, menggunakan paylater, atau menggadaikan barang, maka kecenderungan untuk mengulanginya akan semakin besar.

Ketergiuran mendapatkan barang dan uang dengan cara cepat membuat seseorang mampu mengulangi ritme yang sama. Apalagi di era serba digital ini. Butuh uang, butuh barang, tinggal klik, kebutuhan pun terpenuhi.

Awalnya Fulan berniat hanya sekali saja menggadaikan cincin. Namun, mungkin karena terasa “mudah,” atau mendapatkan sewa modal yang kecil, maka bulan berikutnya ia mulai terbiasa. Lama-lama, ia tak sadar sudah menggantungkan hidup pada utang dan bunga.

Riba memang terlihat memberi solusi instan, padahal yang diberi hanyalah candu.

  1. Hilangnya Empati dan Solidaritas dalam Masyarakat

Riba bukan hanya soal dua pihak, yaitu peminjam dan pemberi pinjaman. Lebih jauh, ia mengikis rasa kepedulian dalam masyarakat.

Andai saja lingkungan Fulan lebih peduli, mungkin ada tetangga yang mau membantu dengan pinjaman tanpa bunga, atau komunitas yang mengulurkan tangan lewat koperasi syariah. Namun, ketika riba sudah dianggap biasa, empati ikut memudar. Orang lebih suka mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain.

Islam hadir untuk mengembalikan semangat solidaritas ini. Dalam sistem syariah, dikenal akad tolong-menolong, jual beli yang adil, dan pembiayaan tanpa riba. Semua itu bertujuan menjaga keberkahan harta sekaligus menjaga hati manusia.

Jalan Keluar dari Jeratan Riba

Hari itu, Fulan akhirnya pulang dengan dompet berisi beberapa lembar uang, tetapi hatinya kosong. Ia menatap sebuah surat akad yang telah ditukarkan dengan emas yang kini tersimpan di laci lembaga gadai, berharap suatu hari bisa menebusnya kembali.

Kisah Fulan adalah cermin bagi banyak orang. Riba tampak seperti jalan keluar, padahal sejatinya adalah jebakan. Ia merampas keberkahan, menanam kegelisahan, merusak keadilan sosial, mendorong ketergantungan, dan mematikan empati.

Setelah melihat bagaimana riba bisa merusak bukan hanya keuangan, melainkan juga hati dan hubungan sosial, penting bagi kita mencari alternatif yang halal dan penuh keberkahan.

Di sinilah BMT HSI hadir sebagai solusi.

BMT HSI adalah Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) yang berfokus pada layanan keuangan mikro sesuai prinsip syariah. Melalui akad-akad yang sesuai syariat, seperti murabahah, BMT HSI membantu anggota memenuhi kebutuhan finansial dengan cara yang halal, transparan, dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah.

BMT HSI tidak hanya berfokus pada keuntungan materi, tapi juga pada keberkahan dan solidaritas umat. Dengan menjadi bagian dari BMT HSI, setiap transaksi bukan hanya sekadar angka, melainkan juga bagian dari ikhtiar menjaga diri dan keluarga dari jeratan riba.

Hidup mungkin tetap penuh tantangan. Namun, dengan harta yang halal dan berkah, hati akan lebih tenang. Sebab sejatinya, yang kita cari bukan sekadar angka dalam rekening, melainkan keberkahan dalam kehidupan. [am]

 


Bagikan:
Chat WhatsApp