Menghindari Riba, tapi Menyepelekan Utang? Ini Bahayanya!
Di tengah kesadaran umat Islam yang semakin tinggi terhadap larangan riba, muncul fenomena menarik: banyak orang yang begitu ketat menghindari bunga pinjaman, tidak mau menyentuh kredit konvensional, bahkan rela hidup sederhana agar terbebas dari transaksi ribawi. Kesadaran ini patut diapresiasi. Namun, ironisnya, ada fenomena lain yang muncul: seseorang yang begitu hati-hati menghindari riba, justru lengah dalam urusan utang.
Mengapa Menghindari Riba Itu Penting?
Al-Qur’an dengan tegas mengharamkan riba. Allah berfirman:
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Ayat ini bukan hanya larangan, melainkan juga peringatan keras tentang akibat spiritual bagi pelaku riba. Dalam ayat lain, Allah bahkan menyatakan perang bagi mereka yang tidak meninggalkan riba (QS. Al-Baqarah: 279). Tidak heran, banyak muslim yang takut dan berusaha mencari solusi finansial yang halal.
Menghindari riba adalah bentuk ketakwaan. Namun, ketakwaan tidak boleh berhenti pada satu aspek ibadah saja. Ada amanah lain yang sama pentingnya, yaitu menjaga hak sesama manusia.
Fenomena Menyepelekan Utang
Adalah niat yang baik ketika seseorang memilih berutang kepada kerabat atau teman karena ingin terhindar dari riba. Namun, jika setelah menerima pinjaman, ia tidak berniat melunasi, menunda-nunda dengan sengaja, atau bahkan menghindar dari kewajiban, maka ia telah berlaku zalim terhadap sesama muslim.
Iya! Menggampangkan utang.
Tak ingin pinjam di bank, tetapi memilih pinjam dulu seratus agar silaturahmi tidak putus.
Pinjam uang kepada teman dan kerabat dengan dalih tanpa bunga.
Emang salah, ya?
Enggak, kok!
Apalagi kalau mereka bersedia membantu. Setidaknya kita bersyukur memiliki teman dan kerabat yang mampu memberikan piutang.
Masalahnya adalah … tak jarang mereka yang berutang menyepelekan utang tersebut kepada kerabat, teman, atau komunitas.
“Nominalnya sedikit, kok!”
“Kan, tanpa bunga. Jadi enggak ada denda.”
“Dia banyak uang, kok. Bayarnya nanti juga enggak masalah!”
Relate?
Tentu saja iyes!
Banyak kasus serupa yang sering terjadi di sekitar kita. Menyepelekan dan menunda pembayaran bahkan hingga bertahun-tahun. Fenomena ini perlu dikaji. Karena menghindari riba adalah ketaatan, tetapi menyepelekan utang adalah kelalaian yang bisa berbuah dosa.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Menunda-nunda pembayaran utang bagi orang yang mampu adalah kezaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bayangkan, jika seseorang yang rajin shalat malam, menjaga makanan halal, dan menjauhi riba, tetapi malah membiarkan utangnya menumpuk di mana-mana, maka ia tetap berada dalam keadaan berdosa.
Bahaya Menyepelekan Utang
Bahaya menunda pembayaran utang bukan hanya merugikan secara materi, melainkan juga berdampak pada keberkahan hidup. Kira-kira apa saja?
- Menghalangi ampunan dosa. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah ﷺ enggan menyalatkan jenazah seseorang yang masih memiliki utang dan tidak meninggalkan harta untuk melunasinya (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa beratnya beban utang di sisi Allah.
- Mengguncang hubungan sosial. Ini yang paling relate! Banyak hubungan persaudaraan rusak hanya karena utang yang tidak dibayar. Awalnya pinjam dengan senyum dan wajah yang memelas disertai janji yang meyakinkan. Namun, akhirnya menimbulkan prasangka dan permusuhan.
- Menyebabkan kesempitan hidup. Ada hadits yang menyebutkan bahwa jiwa seseorang akan tertahan karena utangnya hingga lunas (HR. Tirmidzi). Artinya, utang bisa menghalangi kebahagiaan akhirat.
- Mengundang murka Allah jika sengaja tidak dibayar. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa mengambil harta manusia dengan niat untuk merusaknya (tidak membayar), maka Allah akan merusaknya.” (HR. Bukhari)
Jalan Tengahnya Gimana?
Hindari Riba, Tunaikan Utang
Keseimbangan adalah kuncinya. Menghindari riba adalah kewajiban, tetapi melunasi utang juga kewajiban. Keduanya harus dijaga secara seimbang. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa mengambil harta manusia dengan niat untuk melunasinya, maka Allah akan membantunya melunasi.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menjadi motivasi agar jika kita berutang, sertailah dengan niat yang tulus untuk segera melunasi. Jika kita benar-benar dalam keadaan kesulitan, komunikasikanlah kepada pemberi utang. Islam menganjurkan untuk memberikan kemudahan kepada sesama. Namun, Islam juga melarang kita untuk bersikap bermudah-mudahan.
Tips agar Tidak Menyepelekan Utang
- Catat setiap transaksi.
Allah memerintahkan kita dalam QS. Al-Baqarah: 282 untuk mencatat setiap transaksi, termasuk utang. Kegiatan ini tentunya banyak manfaatnya. Pertama, kita memiliki estimasi berapa uang yang harus kita sisihkan untuk membayar utang. Kedua, kita jadi punya bukti berapa utang yang sudah kita bayarkan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
- Sisihkan dana khusus untuk cicilan utang.
Nah, ini sudah masuk ke dalam catatan yang kita bahas di poin sebelumnya. Masukkan cicilan utang sebagai prioritas utama dalam anggaran bulanan. Jangan menunggu sisa uang belanja karena biasanya … uang belanja itu tak bersisa.
- Tahan dulu jajan berlebihan
Gamis baru bisa ditunda. Masih ada gamis lama di lemari, kan? Gunakan keuntungan usaha atau penghasilan untuk melunasi utang sebelum membeli barang-barang mewah.
- Jual aset jika perlu.
Nama baik itu lebih berharga daripada menahan harta berharga. Jika memang harus, menjual aset adalah solusi untuk menutup utang. Tenang … ketika kita menunaikan hak orang lain dengan tepat waktu, Allah akan menambah rezeki kita dengan yang lebih berkah, insyaallah.
- Usahakan memiliki dana cadangan
Menabunglah sedikit demi sedikit, meskipun dari sekeping logam 500 perak yang sering tercecer di balik pintu. Judulnya memang cuma uang logam. Sekilas seperti kurang berharga. Namun kalau dikumpulkan secara rutin, logam 500 perak akan menjadi dana darurat yang paling solutif. Jika qadarullah ada musibah, kita tidak harus gali lubang, tutup lubang.
- Berdoa kepada Allah agar dimudahkan membayar utang.
Rasulullah ﷺ mengajarkan doa khusus agar dimudahkan dalam melunasi utang (HR. Abu Dawud).
اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Ya Allâh, cukupilah aku dengan rezeki-Mu yang halal (hingga aku selamat) dari yang haram. Cukupilah aku dengan karunia-Mu (hingga aku tidak meminta) kepada selain-Mu. [HR. at-Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albâni rahimahullah dalam Shahîhut Targhîb wat Tarhîb no. 1820]
Menghindari riba adalah langkah mulia yang harus diapresiasi. Namun, jangan sampai kita terjerumus ke dalam dosa lain karena menunda pembayaran utang. Islam mengajarkan keseimbangan. Jauhkan transaksi haram dan tunaikan kewajiban. Dengan melunasi utang tepat waktu, kita telah menjaga keberkahan hidup, memperkuat silaturahmi, dan yang paling penting, hati dan pikiran kita tenang tanpa dikejar utang.
Kalau dianalogikan, menghindari riba tanpa melunasi utang bagaikan menghindari lubang di tengah jalan, tetapi sengaja melompat ke tepi jurang.
Pilihlah jalan yang selamat, yakni terbebas dari dosa riba dan dari dosa utang yang tak terbayar.
Mengelola utang dengan baik, berarti disiplin terhadap kewajiban finansial lainnya. Misalnya membayar cicilan dan menunaikan simpanan wajib secara rutin. BMT HSI sebagai koperasi Syariah mengajarkan prinsip amanah. Dengan rajin menyetorkan simpanan dan membayar cicilan tepat waktu, berarti anggota telah membantu menjaga keberlangsungan dana yang bergulir, sehingga bisa bermanfaat untuk anggota lain.
Bagi anggota BMT HSI, menjadikan kebiasaan membayar simpanan dan cicilan tepat waktu adalah suatu bentuk komitmen kita terhadap prinsip keuangan syariah. Dengan begitu, kita bukan hanya menghindari riba, melainkan juga menjaga amanah untuk meraih rezeki yang berkah. Karena sejatinya, bebas riba bukan hanya soal menghindari bunga bank, melainkan juga soal membayar hak orang lain dengan tepat waktu. Yuk, jaga hati, jaga silaturahmi, dan jaga keberkahan dengan melunasi utang sesuai akad. Jangan sampai terlena dengan ungkapan ‘agar silaturahmi tidak putus, pinjam dulu seratus.’ [am]